25 Januari 2009

Kaya Bersyukur atau Miskin Sabar?

"Dunia Itu Penjara Bagi Orang Mukmin dan Surga Bagi Orang Kafir? dan Dunia hanyalah kesenangan yang Melalaikan?"
Benarkah  faham yang demikian itu? Setidaknya faham itulah yang disebarluaskan pada zaman penjajahan Belanda, saat itu sengaja disebarluaskan hadis atau ayat al-Qur'an yang memperlemah semangat umat Islam ....

untuk memperoleh kemajuan. Tetapi apakah memang demikian merupakan gambaran kehidupan para Sufi? di bawah ini ada sebuah kisah sufi yang cukup menarik untuk disimak. Ada dua orang sufi besar, Ibrahim Ibn Adham dan muridnya Syaqiq al-Balkhi. Konon, Syaqiq al-Balkhi dulunya adalah seorang pangeran sekaligus pengusaha dari daerah Balkh, Asia Tengah. Tapi karena mendapat pencerahan tasawuf, ia memilih cara hidup sufi, dan meninggalakan kegiatan usahanya. Dalam kesufiannya, ia masih sering diganggu oleh pikiran, dari mana rezeki saya? Ketika mereka berdua berjalan-jalan, mereka melihat seekor burung menggelepar-gelepar di tanah karena patah sayapnya. Mereka mengira bahwa sebentar lagi akan mati, karena sakit dan tak mampu mencari makanan. Tiba-tiba datang seekor burung lain membesuknya, membawa makanan dan melolohkannya ke paruh burung yang patah sayapnya. Melihat kejadian itu, Syaqiq al-Balkhi merenung dan mengucap: "Astaghfirullah, kalau burung saja dijamin rezekinya oleh Alloh, apalagi saya. Ini bentuk tawakkal kepada Alloh. Mengapa saya harus resah tentang rezeki"? Tetapi Ibrahim Ibn Adham, gurunya, malah menegurnya: "Aneh kamu ini, kenapa kamu hanya melihat burung yang patah sayapnya dan tidak berdaya itu. Mestinya kamu melihat dan belajar dari burung yang sehat itu. Yang dengan kesehatannya, mampu mencari nafkah untuk dirinya, tetapi juga mampu membantu burung lain yang membutuhkan bantuannnya".
Kira-kira sang Guru ingin mengatakan, lebih baik kamu kembali menjadi pengusaha, bekerja keras mencari karunia/ rezeki Allaoh di muka bumi ini, untuk membantu para dhu'afa dan mustad'afin (orang lemah). Bukankah menjalani hidup sufi tidak harus menjadi orang miskin.
Sikap seperti ini kiranya sangat relevan dengan situasi sekarang ini, banyak orang muslimin yang banyak tertinggal dalam bidang kesejahteraan. Memujikan sifat sabar , menanggung kemiskinan dalam situasi sekarang kirang tidak tepat lagi. Sebaliknya, mendorong kaum muslimin untuk mengejar dan mencari karunia Alloh, kemudian mensyukurinya dan menggunakannya untuk mengembangkan kesejahteraan bersama, kiranya lebih tepat. Lalu pertanyaannya mana yang lebih baik: orang kaya yang bersyukur dan membantu kepentingan orang banyak, atau orang miskin yang sabar dengan kemiskinannya?

Tidak ada komentar: